Cerita Rakyat Indonesia, Kisah Haru Wisuda

Cerita Rakyat Indonesia: Pagi itu aku sengaja lebih pagi menjemput Shifa di rumah Bude Santi, rumah budenya yang ditinggali Shifa selama kuliah di Bandarlampung. Kampung halamannya sendiri di Kota Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Kutatap sejenak sepeda motorku yang sudah lusuh tertutup debu.

Beberapa hari ini aku sibuk membantu Shifa mengetik draf skripsinya sampai tidak sempat mencuci motorku. Aku ingin mengajaknya sarapan bubur ayam atau nasi uduk di halaman Museum Lampung pagi ini.
Cerita Rakyat Indonesia, Kisah Haru Wisuda

Kampung Bumi Manti tempat kosku sudah sibuk pagi itu, kampung di belakang Kampus Unila yang sekarang dipadati dengan rumah-rumah kos mahasiswa. Ibu-ibu yang tengah belanja atau menyuapi anaknya kusapa seramah mungkin. Ada yang menyahut sapaanku, ada juga yang tidak. Tapi aku tak peduli. Kemanjaan Shifa lebih melekat di pikiranku. Aku sudah ingin bertemu dengannya.

Melewati Kampung Baru yang dikenal dengan kampung mahasiswa di Bandarlampung, sampai di SMP N 8 yang semakin lama gerbangnya tertutupi bangunan rumah, melewati SMA Fransiskus yang megah, kulewati rel kereta api jurusan Bandarlampung-Palembang  dan sampailah aku di Jalan Untung Suropati.

Rumah Bude Santi terletak di daerah Jalan Untung Suropati, masuk gang yang ukurannya bisa dilewati dua mobil. Hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan raya sudah sampai di rumah yang tenang dan asri. Bude Santi sedang menggunting ranting-ranting pohon mawar yang kering.

Halamannya yang luas dipenuhi bunga mawar, melati, sepatu, dan bunga-bunga asli Indonesia.
Sesampai pintu gerbang halaman rumah, kumatikan mesin motorku. Kubuka pintu pagar besi berwarna hitam pekat tersebut. Bunyinya mengejutkan Bude Santi.

“Selamat pagi, Bude”, sapaku seraya membuka sandaran motor.
Kuraih tangan kanannya yang lembut lalu kusalami dan kucium erat-erat.
“Nak Arya…apa kabar? Sudah seminggu tidak kelihatan. Shifa kok sepertinya lagi ruwet pikirannya”, tuturnya seraya memegang  pundakku.  Kami berdua melangkah menuju teras.
Agak terkejut juga mendengar Si Ceria itu sedang galau.
“Apa ada masalah dengan dosennya?” Tanya Bude Santi.

Aku terdiam. Shifa bukan mahasiswa bandel, sebaliknya dia pandai, rajin, jujur, sopan dan periang sehingga dosen-dosen menyayanginya.

“Saya kira tidak, Bude. Justru draf skripsinya sudah hampir sempurna untuk diujikan, Bude. Saya sudah selesai membantu mengetik draf skripsinya tiga hari lalu”ujarku.
“Kalau begitu, saya bangunkan dia. Tadi shalat Subuh terus bilang sama Bude mau tidur lagi”, kata Bude seraya menuju kamar Shifa.

Tidak lama kemudian Bude Santi sudah keluar lagi menemuiku.
“Shifa pusing, dia tidak mau bangun. Nanti saya suruh dia ke dokter”, kata Bude Shanti.
“Biar saya saja yang antarkan Shifa, Bude”, aku menawarkan.
“Biar Pak Saili, supir Pakde yang antarkan dia. Nanti malah tambah kena angin. Ya kan, Nak Arya?” kata Bude.

Aku terdiam lalu kusampaikan maksudku ingin mengajak Shifa sarapan pagi ini. Bude menawarkan solusi supaya aku membelikan bubur ayam dan sate ati ayam kesukaan Shifa. Aku setuju. Aku segera menuju ke halaman Museum Lampung.

Satu minggu berlalu dan aku selalu tidak bisa mengajak Shifa berangkat ke kampus bersama-sama, apalagi sekedar berjalan-jalan menyusuri jalan setapak di kampus Unila yang hijau di akhir pekan. Shifa selalu diantar Pak Saili dengan alasan masih belum sehat. Ketika kutanyakan kabar skripsinya lewat telepon, ia bilang sudah beres bahkan sudah mendaftar ujian komprehensif.

Kurasakan ada yang berubah pada diri Shifa. Ia tidak bicara panjang lebar denganku via telepon. Biasanya ia banyak cerita tentang kelucuan teman-temannya, kejenakaan dosennya sampai kesulitan-kesulitannya dalam menyusun skripsi. Aku selalu senang mendengar celotehnya.

 Bude Santi juga melihat perubahan itu. Shifa tidak lagi suka berkumpul dengan Bude dan Pakdenya. Ia banyak mengurung diri di kamar. Kata Bude, seringkali Shifa ceria bahkan sangat gembira bila mendapat telepon atau membaca pesan dari hape androidnya.

Kebingungan saya terhadap perubahan sikap Shifa semakin memuncak ketika ia sudah siap-siap ke Jakarta besok Jumat naik Sriwijaya pukul 08.00 tanpa memberitahuku terlebih dahulu.   Ia menolak tawaranku untuk saya antarkan ke bandara. Bahkan ketika aku siapkan mobil pinjaman saudaraku, ia tetap menolak. Ia memilih diantar Pak Saili menuju Bandara Radin Inten II.

Bude Santi menasihatiku untuk sabar menghadapi Shifa. Baru kali ini kami menemukan perubahan sikap Shifa. Ia sudah tak mempedulikan aku lagi. Kata Bude Santi, Shifa kangen keponakannya yang tinggal di Jakarta. Rasanya mustahil karena Shifa biasanya sangat fokus dengan kuliahnya. Menjelang ujian komprehensif malah dia memilih pergi ke Jakarta.

Kutanyakan masalah Shifa pada Farah, Elsa, dan Mayora, teman akrab di kampus. Mereka juga tidak tahu karena kata mereka, Shifa akhir-akhir ini selalu sebentar saja ada di kampus. Shifa…Shifa…ada apa, kekasih hatiku?

Dua hari sudah Shifa tidak ada di Bandarlampung dan hapenya tidak aktif. Bude Santi juga mengaku sulit menghubunginya. Dalam keadaan seperti ini, aku selalu lama berdoa dalam sujudku. Rasanya aku sangat kehilangan sesuatu yang sangat mahal. Bahkan aku tak mempedulikan ajakan Irwan untuk mempersiapkan dokumen guna mendaftar kuliah S2. Padahal sebelumnya, akulah yang bersemangat mengajak teman-temanku untuk melanjutkan studi.

“Hei…sudah siap baju putih celana hitam baru belum untuk wisuda kita nanti?” tanya Irwan lewat telepon.
“Bodo amat. Aku tidak jadi ikut seremonial wisuda. Nanti aku lapor ke Bagian Akademik kalau aku batal ikut wisuda”, ujarku seraya menghapus anganku untuk membahagiakan hati Shifa.
“Sayang amat,  Arya….kamu kan mahasiswa dengan IP tertinggi. Kamu nanti bersalaman dengan  Prof. Hasriadi Mat Akin, Rektor Unila”, bujuk Irwan.

Di saat begini mengapa Shifa menjauh dariku padahal kita menjalani kuliah bersama-sama dalam suka dan duka walaupun aku dan Shifa tidak satu jurusan dan selisih satu tahun lebih dulu aku. Shifa memang gadis yang biasa saja tetapi pribadinya sangat baik. Ia tidak tampil seperti model atau artis yang begitu cepat menarik perhatian teman laki-laki tetapi kemilaunya semakin nampak ketika mengenal pribadinya lebih lama.

Kutatap seperangkat pakaian atribut wisuda yang kugantung di dinding kamar kosku. Aku tak akan mengenakannya karena itu dulu kuraih dengan semangat juang yang dipompa oleh cinta Shifa padaku. Kata hati kecilku, Shifa tak akan lagi kembali padaku karena Shifa sepertinya belum sepenuh hati mencintaiku. Sebenarnya aku tidak perlu khawatir ditinggalkan Shifa karena  banyak teman cewek yang suka padaku bahkan yang lebih bergaya dari Shifa karena wajahku lumayan tampan. Namun hatiku sudah terpaut pada Shifa. Aku bisa mengiringinya, mengimbanginya, dan mudah aku memahami pribadinya.

Sore itu aku berniat berkunjung ke rumah Bude Santi. Rasanya aku tak sanggup membawa badanku sendiri. Namun di dalam kamar kos terus juga membuat aku semakin tersiksa. Kuikuti kata hatiku menuju Jalan Untung Surapati, rumah yang penuh kenangan bagiku dan Shifa.

BACA JUGA:
Cerita Rakyat Indonesia, Sang Pengiran
Cerita rakyat Indonesia, Melasa Jurak
Cerita Rakyat Indonesia, Wasiat Kehidupan
Kukendarai sepeda motorku pelan-pelan seraya mengenang tempat-tempat makan yang biasa kunikmati bersama Shifa, dari warung masakan jawa dan sunda,  ceker ayam kesukaan Shifa, nasi bakar, ayam geprek,  tekwan, pempek, dan soto di sepanjang jalan Kampung Baru .

Sesampai di dekat rel kereta api, hapeku bergetar. Aku menghentikan sepeda motorku di tepi jalan. Kubuka hapeku….oh Shifa menghubungku. Rasanya mau pingsan aku membaca namanya muncul di hape androidku. Bergetar tanganku memegang hapeku.

“Ya …hallo…ini Shifa?” tanyaku dengan perasaan campur aduk
“Ya…Yang…..jemput aku di bandara nanti ya. Aku naik Sriwijaya”, ucapnya.
Serasa tidak percaya, Shifa memanggilku dengan ucapan Yang.

Ketika kubaca pesannya, aku mendapat informasi bahwa Shifa naik pesawat  Garuda jam 18.00 dari Jakarta.  Shifa terlihat sedang galau sampai salah mengetik nama maskapai penerbangannya.
Aku segera melaju menuju rumah Bude Santi dan mengabarkan hal itu. Bude Santi menyarankan aku untuk berangkat setelah Maghrib. Aku tidak sabar. Aku pamit menjemput kekasih hatiku ke Bandara Radin Inten II di Branti. Tak sabar rasanya menunggu Shifa dan di sinilah Teori Relativitas Einstein berlaku. Menunggu pacar selama tiga jam serasa satu tahun. 

Setelah tiga jam menunggu akhirnya Shifa keluar dari bandara dan dia memelukku erat-erat sambil menangis. Aku tidak tahu ada apa dengannya. Tapi kubiarkan saja ia meluapkan perasaannya di pelukanku.

Shifa minta mampir makan sate dan kuturuti kemauannya. Di situlah baru ku tahu ada apa di balik kegalauan hati Shifa. 

“Inila  penyebabnya yang sebenarnya, Yang”, ujarnya sambil mengasih gawai kesayangannya ke saya. 
Kupegang hape itu dengan tangan kiriku sementara tangan kananku menarik lembut tangan kanannya. Kugenggam erat sambil kutatap wajahnya.

“Sudah hampir dua minggu aku berhubungan terus dengan teman SMA ku, namanya Gilang”, kata Shifa memulai curhatnya. Aku siap mendengarkan apa pun yang terjadi dengan Shifa.
“Ia pacarmu?” tanyaku.
Shifa menggelengkan kepalanya.
“Tapi aku sangat mengidolakannya seperti teman-teman cewek lainnya pada waktu itu”, lanjutnya.
“Hanya saja aku kalah dalam hal penampilan dan keberanian untuk mendekatinya. Selama tiga tahun di SMA, pacarnya berganti-ganti. Dan semua bangga pernah berpacaran dengannya”.

“Ia tampan dan pandai?” tanyaku serius dengan rasa cemburu.
“Ya begitulah. Ketua OSIS selama satu tahun, tim inti basket di sekolah, juara bertahan menulis puisi dan prosa tingkat sekolah bahkan tingkat provinsi. Pernah menjadi figuran film remaja”, tutur Shifa.
Aku bisa membayangkan alangkah keren cowok itu.

“Lulus SMA kabarnya dia kuliah di luar negeri. Aku mulai melupakannya dan memang aku tidak kenal dengannya”.  Shifa mulai menikmati alur cerita yang ia tuturkan padaku tanpa malu.
“Dua minggu yang lalu ia muncul di grup alumni SMA-ku. Anehnya, ia menyapaku terus. Bahkan setiap hari menyapaku lewat japri. Rasanya bahagia sekali mendapat kesempatan berharga yang dulu tak pernah bisa aku capai”, ungkap Shifa dengan mata berbinar.

“Ia selalu memujimu?” tanyaku masih dengan rasa cemburu.
“Ya…dengan sebait puisi ia selalu menyapaku dan aku sangat menikmatinya sampai tidak terasa aku memanggil dia Sayang demikian pula dia memanggilku. Kenapa ya …kok aku serasa berjumpa betulan dengan dia setiap kali berhubungan lewat WA?”

“Karena memang kalian sedang bersamaan walau berbeda tempat”, jawabku.
“Iya…kalau dia mau mandi…juga bilang dulu, mau pergi pamit dulu, mau tidur bilang dulu, sudah bangun lapor padaku. Rasanya ia amat dekat. Bagaimana aku nggak seneng. Ketemu cowok idolaku dan diperhatikan secara spesial”, celotehnya.

“Kemudian ia mau ketemuan sama aku di Jakarta. Dia menungguku di bandara Soeta. Harapanku, ia akan jadi pacarku terus melamarku…jadi deh ia pendamping hidupku”, ujarnya lugu.
“Terus aku kamu apain?” tanyaku.
“Aku cariin cewek lain. Beres kan?”
“Kamu ketemu betulan sama dia?” tanyaku.

“Ya..bahagianya aku. Kita jalan, makan, sampai malam, terus aku mau menginap di rumah Tante Eta di Jakarta Selatan. Aku mau pesan taksi setelah aku makan di restoran”, tutur Shifa.

“Tapi ….belum juga selesai makan,  kami didatangi segerombol orang. Dia menarik badan Gilang lalu menyeretnya suruh pergi dari situ”, kata Shifa serius.
“Kamu ditinggalinnya?”
Ia mengangguk. 

“Aku dilindungi sama pelayan restoran. Disuruh masuk ke dapur supaya tidak terlibat dalam urusan mereka”.

“Memangnya Gilang kenapa kok diperlakukan seperti itu ?”
“Kata orang-orang restoran,  ia bandar narkoba yang lagi diburu-buru polisi”.
“Aku terus menginap di rumah Nina, teman SMA ku di Jakarta Pusat. Ia kuliah di UI dan aku mendapatkan alamatnya juga dari grup WA alumni SMA. Kata Nina memang kondisi Gilang begitu. Dia sudah berumah tangga, sudah punya anak lagi”, tutur Shifa sendu.

“Kamu masih merasa akan bahagia bila hidup bersama Gilang yang keren habis itu?” tanyaku sambil memelototkan mata supaya terlihat galak.

Shifa memukul pundakku lalu menjatuhkan tubuhnya ke punggungku.
“Ya enggaklah, Yang. Aku semakin yakin kalau kamu calon pendamping hidupku satu-satunya”, ujarnya. 

“Itu persis dengan analisis statistik yang kamu pakai di skripsi kamu”, ujarku.
Tiba-tiba Shifa menegakkan tubuhnya dan memandangku dengan serius.
“Apa maksudmu?” tanya Shifa.

“Itu…kamu kan pakai analisis Chi Square, hipotesis nol-nya frekuensi harapan sama dengan frekuensi kenyataan. Hipotesis alternatifnya frekuensi harapan tidak sama dengan frekuensi kenyataan. Jadi dalam kasus kamu sama Gilang, hipotesis alternatif yang diterima”, ujarku.
“Ah…dasar kamu asisten dosen statistik dan rancangan percobaan. Apa saja dihubungkan dengan ilmu itu”, kata Shifa cemberut.

Hari itu sate yang terhidang tidak kami habiskan karena perut  semula lapar tiba-tiba menjadi kenyang seiring dengan berseminya  bunga-bunga cinta di hatiku. Dan aku tetap akan ikut wisuda, lalu lanjut S2. Demi Shifa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel