Kedai Kopi Awal Pertemuan, Cerpen

Malam ini hujan kembali membasahi pusat kota, sepertinya sengaja meyampuri urusanku agar semakin semerawut atau ingin menjadi sahabat yang setia menemani. Hujan membuatku berdiam beberapa waktu di teras kampus, tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan suara yang berdentang-dentang saat menimpa atap, seperti mengejek diriku. Badanku setengah basah karena tampias air hujan yang tak mungkin kuhindari, sedangkan teman-teman angkatanku bergerombol di pintu kelas tanpa sapaan, tanpa ajakan.

Hujan sudah mulai reda, beberapa menit kemudian, aku berjalan menyusuri trotoar basah dengan beberapa genangan air pada permukaannya yang sudah sompel menyerupai kolam-kolam kecil. Sore mulai kehilangan cahaya,  hanya beberapa lampu jalan yang menyala namun remang karena embun dari rintik hujan.

Kedai Kopi Awal Pertemuan, Cerpen
Suasananya seperti film horor saja, sedikit cahaya, gedung dan benda-benda mulai kehilangan warna, juga tak ada suara yang ramah menyapa. Tapi ya beginilah keseharianku yang abu-abu.

Aku memutuskan singgah disebuah kedai kopi “Kedai Ngupi” namanya. Aku sering menghabiskan beberapa malam kelamku di tempat ini, karena aku hanya akan menemui kopi di saat-saat tertentu saja, saat stres misalnya. Rasanya yang khas, aromanya yang menenangkan, dan kehangatannya, akan membuatku tenang untuk beberapa saat.

Aku memesan menu biasa, kopi hitam dengan lebih banyak gula karna aku berharap gula akan menutupi rasa pahit kopi walaupun pada kenyataannya itu sia-sia.
“Ini saja mbak pesanannya?” Tanya seorang pelayan.

“Hhmm... tambah satu kentang goreng ya mas.” Jawabku. Pelayan itu pun pergi setelah mengulang pesananku.
“Silakan dinikmati mbak, maaf ya agak lama.” Kata seorang pelayan seraya tersenyum ramah memohon pemakluman.

Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman seadanya. Aku memang tak bisa menipu diri atau orang lain saat keadaanku sedang benar-benar tidak baik.

 Masalahku kali ini sebenarnya biasa-biasa saja hanya soal keseharian seperti tugas kuliah, kegiatan kampus, masalah keluarga, masalah keuangan, dan masih banyak lagi. Tetapi kejadian yang berulang, beruntun dan tanpa ujung membuat kepalaku cenat-cenut setelah memikirkannya.

Aku pandangi cangkir porselin putih yang di dalamnya terdapat cairan hitam pekat yang mengebul-ngebulkan asap abu-abu. Aku hirup dalam-dalam aromanya, dan kuseruput pelan-pelan. Aku selalu merasa beruntung dari setiap seruputan kopi, karena kenikmatannya memberikan ketenangan walaupun sementara.

Kali ini kedai cukup ramai mungkin karena cuaca yang dingin dan orang-orang membutuhkan kehangatan dari secangkir kopi. Aku mengeluarkan novel yang baru kupinjam dari teman kemarin.

“Permisi mbak, boleh numpang duduk di  sini? Soalnya semua meja dan kursi penuh.” Tanya seorang lelaki. Aku agak terkesiap tak menduga akan mendengar suara seseorang berbicara kepadaku, terlebih lagi suaranya terdengar ramah di telingaku.

Aku mendongak padanya dan melihat sosok kerempeng dengan tangan yang penuh dengan tumpukan buku. Rambutnya sebagian menutupi alis dan kacamatanya. Tubuhnya jangkung dengan bahu yang membuat siapapun akan berpikir nyamannya berada dalam pelukannya. “Oh  hmm  silahkan saja.” Jawabku gugup.

”Terimakasih mbak ...” Balas pria itu. Dia lalu duduk memesan segelas kopi di tangannya.
“Wah suka novel juga ya mbak?” Tanya pria itu.
”E ehh hmm.. iyaa lagi santai aja sih sekalian baca novel.” Jawabku asal.
”Oohh.. mbak suka novel tentang apa?” Tanya pria itu dengan senyum yang membuatku semakin gugup.

”Saya suka novel tentang seseorang yang memiliki masalah begitu besar namun tidak memperlihatkannya serta dapat berbuat sesuatu yang dapat mengubah dunianya dan orang lain menjadi lebih baik.” jawabku sambil menerawang jauh tak sadar pria tadi sedang memperhatikanku.

”Wah kayaknya mbak sekalian curhat nih.” Ledek lelaki itu yang membuatku sedikit jengkel. Bibirnya tampak nyengir dengan pandangan mata menyipit.

 ”Tapi apa yang mbak bilang benar, selain kita harus terlihat kuat dan dapat membuat perubahan yang lebih baik sebelumnya kita harus memiliki keberanian menghadapi dan menyelesaikan masalah itu.” Tambah lelaki itu.

Aku agak terketuk mendengar penjelasannya. Selama ini aku hanya menghindar dari masalah terbesarku yang sebenarnya, aku harus berani menghadapi dan menyelesaikannya.

“I’am gonna love you like I’m gonna lose you, I’m gonna hold you like I’m saying goodbye.”  Terdengar suara lirik lagu yang ternyata nada dering telepon pria itu.  Dia pun mengangkat dan menjawab suara dari seberang sana.

 “Iya nanti aku jemput 15 menit lagi ya.” Pria itu pun mengakhiri percakapannya dan menutup telponnya.
”Hhmm.. mbak, ini saya ada novel sesuai dengan yang mbak suka.” Pria itu mengeluarkan sebuah novel agak tebal dari tas ranselnya, lalu menyodorkannya padaku.
”Apa ini?” Jawabku bingung.

”Iiyaa mbak, saya suka baca novel, mbak juga suka. Saya sering liat mbak ngopi di sini saya juga suka ngopi di sini. Maaf ya mbak saya suka memperhatikan mbak, ini novelnya untuk mbak.” Ujar pria itu sambil tersenyum.

”O ohh. Terimakasih.” Jawabku pasti terdengar gugup, sambil meraih novel itu.
”Iya mbak sama-sama. Saya pergi dulu ya mau jemput adik saya di rumah sakit. Dia abis check up. Sampai bertemu kembali, semoga kita bertemu kopi bukan hanya saat lagi. "Stres ya mbak tapi pas lagi bahagia juga hehe.” Pria itu berlalu sambil memberikan senyuman termanisnya.

Aku jadi heran kenapa dia sepertinya tahu banyak tentang aku, bahkan dia tau kalo aku hanya akan bertemu kopi saat aku sedang stres. Aku buka lembar pertama, novel itu judulnya” Berani itu Mahal” tertera nama Danu Pradhipta, mahasiswa sastra Universitas Indonesia. Aku penasaran siapa penulis novel ini aku lihat bagian biografi penulis tertulis nama yang sama “Danu Pradhipta” pria itu benar-benar membuatku heran dan penasaran.

Aku putuskan untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku mesti melewati jalan membosankan ini lagi. Ah siapa Danu, siapa lelaki itu? Sialnya atau untungnya lelaki itu datang membawa nasihat yang membantuku membuka mata untuk menyelesaikan masalahku, namun pergi dengan membuat masalah baru dengan segala penasaran-penasaran yang dibuatnya.

Aku masuk ke rumah langsung menuju kamar lalu kurebahkan tubuhku hingga tak sadar aku terlelap membawa perasaan yang penasaran. Bahkan sampai suara ibuku membangunkanku keesokan paginya, penasaranku semakin bertambah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel