Tinggalkan Olimpiade Renang Demi Pertahankan Hijab, Cerpen
Minggu, 23 Februari 2020
Edit
Cerpen, Aku tidak ikut olimpiade apapun cabang renang gaya bebas, gaya kupu-kupu, atau gaya katak demi hijabku. Sore ini sebenarnya sama seperti sore pada umumnya. Sinar matahari mulai meredup, menyisakan suasana hangat yang menyenangkan. Aku melangkahkan kakiku ke dalam gedung olahraga di kompleks sekolahku, menuju ruangan besar khusus olahraga renang.
Rencananya aku akan melakukan sesi latihan renang terakhir karena lusa adalah pertandingan. Artinya, kesempatan berlatih kali ini harus dilakukan dengan sungguh-sunnguh. Aku berhijab, tentu saja. Namun hal itu tidak akan jadi masalah karena sekolahku berusaha agar perenang wanita berhijab diperbolehkan mengikuti olimpiade renang Se-Jawa.
Saat ini aku sudah berdiri di tepi kolam renang, bersiap melakukan pemanasan ringan sampai akhirnya sebuah suara yang amat familiar menghentikan kegiatanku.
“Hai, Nisa. Sudah pemanasan?” tanya pelatihku seraya meletakkan tas yang dibawanya di samping kolam renang.
“Sudah, Kak.” balasku sambil tersenyum.
“Oke, ini latihan terakhir kita. Saya harap kamu benar-benar siap untuk pertandingan.” kata Kak Nana lagi. Bibirnya tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat jelas.
“Kita mulai sekarang. Gaya bebas, ready? Go!” kata Kak Nana langsung memberikan aba-aba, dilanjutkan dengan meniup peluit panjang sebagai isyarat agar aku segera menceburkan diri ke kolam. Aku berusaha semampuku, berenang dengan gaya bebas dan mencetak waktu terbaik.
Saat aku muncul ke permukaan air, Kak Nana tampak tersenyum. Aku tahu itu petanda baik, waktu yang ku catat pasti lebih baik dari latihan yang kemarin. Saat aku naik ke pinggir kolam dan ingin menanyakan catatan waktuku padanya, tiba-tiba Kak Nana mendapat telepon dari seseorang.
“Halo? Iya, Pak. Apa?!” kudengar Kak Nana memekik, aku jadi kaget dan segera menghampirinya.
“Tapi besok sudah… Bagaimana, Pak? Dia sudah berusaha sejauh ini. Kasihan kalau mimpinya harus digagalkan.” Kak Nana menatapku sedih. Ini mungkin petanda buruk, tapi aku berusaha untuk tetap berpikir positif.
“Saya tidak bisa, Pak. Maaf, Bapak harus mengatakannya sendiri.”
“Baik saya segera ke sana.” Kak Nana menutup teleponnya lalu melirik ke arahku."
“Nisa, cepat ganti baju. Kita harus menemui Kepala Sekolah di ruangannya.” Ujar Kak Nana sembari membereskan barang-barangnya.
“Tapi, latihannya gimana, Kak?” tanyaku bingung.
“Ada yang harus dibicarakannya denganmu, Nis.”
Setelah berganti pakaian, aku dan Kak Nana langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Ruangan yang kami masuki itu memiliki hawa yang terasa lebih dingin daripada biasanya. Kulihat Pak Sofyan, kepala sekolahku yang berbadan besar dan berkumis cukup lebat itu tengah duduk menunggu, lalu mempersilahkan kami duduk.
“Maaf mengganggu latihanmu, Annisa.” katanya ramah.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak keberatan. Ada apa bapak memanggil saya ke sini?”
“Sebenarnya bapak tidak mau mengatakan hal ini, tapi saya terpaksa melakukannya. Maaf Anisa, kamu tidak bisa mengikuti olimpiade renang itu.” ujar Pak Sofyan sedih.
“Kenapa, Pak? Saya kan sudah berlatih selama ini dan sudah sangat siap untuk pertandingan.” kataku lalu melemparkan pandangan kepada Kak Nana yang duduk di sebelahku. Dia hanya menunduk sedih.
“Bukan masalah siap atau tidak siap, Anisa. Tadi bapak sudah dihubungi oleh pihak penyelenggara lomba mengenai permintaan kita untuk mengikutsertakan peserta yang menggunakan hijab. Tetapi, mereka tidak bisa mengabulkan permintaan itu.” jelas Pak Sofyan.
“tapi, Pak”
“Pihak penyeleggara bilang, mereka akan mengizinkan kamu ikut lomba jika kamu tidak mengenakan hijab. Pihak sekolah sudah mengupayakan yang terbaik, Nisa. Jadi, Bapak harap kamu mengerti.”
Aku terdiam di tempat dudukku. Kenapa semua ini bisa terjadi? Aku bahkan baru memutuskan berhijab 3 bulan lalu setelah olimpiade renang tingkat provinsi. Tadinya aku berpikir masih bisa mengikuti kompetisi dengan menggunakan hijab, tapi nyatanya tidak demikian.
“Maaf, Nisa. Kita tidak bisa berbuat banyak. Juara kedua olimpiade tingkat provinsi dari sekolah lain yang akan diajukan untuk menggantikanmu, dan kebetulan ia juga siap.” Aku merasa mataku mulai panas menahan air mata.
“Kamu masih punya satu opsi, pihak penyelenggara akan mengizinkanmu ikut kompetisi jika kamu rela melepas hijab.”
Aku tersentak. Melepas hijab? Itu tidak mungkin ku lakukan. Aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak melepas hijabku, apapun yang terjadi. Aku ingin ikut olimpiade, tentu saja. Tapi, aku juga tidak ingin melepas hijabku . Kak Nana menatapku, secara tersirat mengatakan jika semua keputusan telah diserahkan padaku.
“Bagaimana, Nisa?” tanya Pak Sofyan.
“Apa tidak ada jalan lain, Pak?” Kak Nana yang sedari tadi diam mulai bersuara. Pak Sofyan hanya mendesah.
“Maaf, Nana. Saya tahu kamu juga berat, tapi itulah pilihannya.” ujar Pak Sofyan.
“Saya tidak akan mengikuti olimpiade itu, Pak.” tegasku.
Pak Sofyan kelihatan bingung, begitu pula dengan Kak Nana. “Kenapa, Nisa? Bukankah masa depanmu sebagai atlet masih sangat panjang?”
“Masa depan saya memang masih panjang, Pak. Tapi, kehidupan akhirat saya masih jauh lebih panjang.” kataku yakin. “Saya tidak bisa ikut olimpiade itu jika harus melepas hijab saya. Tidak masalah saya tidak bisa menjadi seorang atlet, toh di surga-Nya nanti saya bisa mendapatkan piagam sebanyak apapun yang saya mau.” Lanjutku lagi.
Pak Sofyan tampak kagum dengan jawabanku, begitu juga dengan Kak Nana. Aku tersenyum yakin di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa didapatkan tanpa pengorbanan.
Aku siap berkorban dengan merelakan diri tidak jadi mengikuti olimpiade renang itu demi hijabku. Aku percaya, balasan yang lebih baik akan terjadi apabila kita tetap berjuang di jalan fitrah. Mungkin saat ini aku tidak jadi ikut olimpiade atau kompetisi renang lainnya. Tapi aku tetap yakin, akan ada banyak jalan menuju kesuksesan. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah bersabar.
Rencananya aku akan melakukan sesi latihan renang terakhir karena lusa adalah pertandingan. Artinya, kesempatan berlatih kali ini harus dilakukan dengan sungguh-sunnguh. Aku berhijab, tentu saja. Namun hal itu tidak akan jadi masalah karena sekolahku berusaha agar perenang wanita berhijab diperbolehkan mengikuti olimpiade renang Se-Jawa.
Saat ini aku sudah berdiri di tepi kolam renang, bersiap melakukan pemanasan ringan sampai akhirnya sebuah suara yang amat familiar menghentikan kegiatanku.
“Hai, Nisa. Sudah pemanasan?” tanya pelatihku seraya meletakkan tas yang dibawanya di samping kolam renang.
“Sudah, Kak.” balasku sambil tersenyum.
“Oke, ini latihan terakhir kita. Saya harap kamu benar-benar siap untuk pertandingan.” kata Kak Nana lagi. Bibirnya tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat jelas.
“Kita mulai sekarang. Gaya bebas, ready? Go!” kata Kak Nana langsung memberikan aba-aba, dilanjutkan dengan meniup peluit panjang sebagai isyarat agar aku segera menceburkan diri ke kolam. Aku berusaha semampuku, berenang dengan gaya bebas dan mencetak waktu terbaik.
Saat aku muncul ke permukaan air, Kak Nana tampak tersenyum. Aku tahu itu petanda baik, waktu yang ku catat pasti lebih baik dari latihan yang kemarin. Saat aku naik ke pinggir kolam dan ingin menanyakan catatan waktuku padanya, tiba-tiba Kak Nana mendapat telepon dari seseorang.
“Halo? Iya, Pak. Apa?!” kudengar Kak Nana memekik, aku jadi kaget dan segera menghampirinya.
“Tapi besok sudah… Bagaimana, Pak? Dia sudah berusaha sejauh ini. Kasihan kalau mimpinya harus digagalkan.” Kak Nana menatapku sedih. Ini mungkin petanda buruk, tapi aku berusaha untuk tetap berpikir positif.
“Saya tidak bisa, Pak. Maaf, Bapak harus mengatakannya sendiri.”
“Baik saya segera ke sana.” Kak Nana menutup teleponnya lalu melirik ke arahku."
“Nisa, cepat ganti baju. Kita harus menemui Kepala Sekolah di ruangannya.” Ujar Kak Nana sembari membereskan barang-barangnya.
“Tapi, latihannya gimana, Kak?” tanyaku bingung.
“Ada yang harus dibicarakannya denganmu, Nis.”
Setelah berganti pakaian, aku dan Kak Nana langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Ruangan yang kami masuki itu memiliki hawa yang terasa lebih dingin daripada biasanya. Kulihat Pak Sofyan, kepala sekolahku yang berbadan besar dan berkumis cukup lebat itu tengah duduk menunggu, lalu mempersilahkan kami duduk.
“Maaf mengganggu latihanmu, Annisa.” katanya ramah.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak keberatan. Ada apa bapak memanggil saya ke sini?”
“Sebenarnya bapak tidak mau mengatakan hal ini, tapi saya terpaksa melakukannya. Maaf Anisa, kamu tidak bisa mengikuti olimpiade renang itu.” ujar Pak Sofyan sedih.
“Kenapa, Pak? Saya kan sudah berlatih selama ini dan sudah sangat siap untuk pertandingan.” kataku lalu melemparkan pandangan kepada Kak Nana yang duduk di sebelahku. Dia hanya menunduk sedih.
“Bukan masalah siap atau tidak siap, Anisa. Tadi bapak sudah dihubungi oleh pihak penyelenggara lomba mengenai permintaan kita untuk mengikutsertakan peserta yang menggunakan hijab. Tetapi, mereka tidak bisa mengabulkan permintaan itu.” jelas Pak Sofyan.
“tapi, Pak”
“Pihak penyeleggara bilang, mereka akan mengizinkan kamu ikut lomba jika kamu tidak mengenakan hijab. Pihak sekolah sudah mengupayakan yang terbaik, Nisa. Jadi, Bapak harap kamu mengerti.”
Aku terdiam di tempat dudukku. Kenapa semua ini bisa terjadi? Aku bahkan baru memutuskan berhijab 3 bulan lalu setelah olimpiade renang tingkat provinsi. Tadinya aku berpikir masih bisa mengikuti kompetisi dengan menggunakan hijab, tapi nyatanya tidak demikian.
“Maaf, Nisa. Kita tidak bisa berbuat banyak. Juara kedua olimpiade tingkat provinsi dari sekolah lain yang akan diajukan untuk menggantikanmu, dan kebetulan ia juga siap.” Aku merasa mataku mulai panas menahan air mata.
“Kamu masih punya satu opsi, pihak penyelenggara akan mengizinkanmu ikut kompetisi jika kamu rela melepas hijab.”
Aku tersentak. Melepas hijab? Itu tidak mungkin ku lakukan. Aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak melepas hijabku, apapun yang terjadi. Aku ingin ikut olimpiade, tentu saja. Tapi, aku juga tidak ingin melepas hijabku . Kak Nana menatapku, secara tersirat mengatakan jika semua keputusan telah diserahkan padaku.
“Bagaimana, Nisa?” tanya Pak Sofyan.
“Apa tidak ada jalan lain, Pak?” Kak Nana yang sedari tadi diam mulai bersuara. Pak Sofyan hanya mendesah.
“Maaf, Nana. Saya tahu kamu juga berat, tapi itulah pilihannya.” ujar Pak Sofyan.
“Saya tidak akan mengikuti olimpiade itu, Pak.” tegasku.
Pak Sofyan kelihatan bingung, begitu pula dengan Kak Nana. “Kenapa, Nisa? Bukankah masa depanmu sebagai atlet masih sangat panjang?”
“Masa depan saya memang masih panjang, Pak. Tapi, kehidupan akhirat saya masih jauh lebih panjang.” kataku yakin. “Saya tidak bisa ikut olimpiade itu jika harus melepas hijab saya. Tidak masalah saya tidak bisa menjadi seorang atlet, toh di surga-Nya nanti saya bisa mendapatkan piagam sebanyak apapun yang saya mau.” Lanjutku lagi.
Pak Sofyan tampak kagum dengan jawabanku, begitu juga dengan Kak Nana. Aku tersenyum yakin di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa didapatkan tanpa pengorbanan.
Aku siap berkorban dengan merelakan diri tidak jadi mengikuti olimpiade renang itu demi hijabku. Aku percaya, balasan yang lebih baik akan terjadi apabila kita tetap berjuang di jalan fitrah. Mungkin saat ini aku tidak jadi ikut olimpiade atau kompetisi renang lainnya. Tapi aku tetap yakin, akan ada banyak jalan menuju kesuksesan. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah bersabar.